Tahun 1980-an,
seorang pejabat tinggi RI, berpesan buru-buru kepada seorang pembantunya dalam
bahasa jawa yang bunyinya kurang lebih:Bi, saya mau pergi sama ibu. Nanti kalau
ada orangdatang mengantar ikan, diterima dan “diopeni” ya!” maksud kata diopeni
adalah dirawat. Tapi dalam bahasa jawa, diopeni bagi seekor ikan juga bisa
berarti dipotong dan dimasak. Maka, ketika tak lama kemudian ada orang datang
mengantar seekor ikan, pembantu itu pun segera memotongnya, membersihkan
sisiknya dan isi perutnya, kemudian memasaknya. Dia sudah hafal betul bahwa
ikan mas harus dipepes bukan digoreng. Sebab itulah menu kesukaan tuan dan
nyonya rumah. Pembantu itu tidak tahu bahwa yang baru saja diantar ke rumah
adalah ikan arwana “golden red” yang harganya waktu itu sudah mencapai
Rp3.000.000,per ekor. Jadilah malam itu san penjabat tinggi kita menyantap pepes ikan yang harganya
Rp3.000.000, per porsi.
Tahun 1980-an, ikan famili Osteoglosside ini adalah simbol status. Ikan ini seakan memiliki sihir ajaib, mulai dari membawa keberuntungan, menolak bahaya dan lain – lain. Ada warna silver dan black dari Brasil. Silver Papua. Green dari Jambi. Golden dar Kalbar. Namun yang nilainya paling tinggi adalah goldel Red dan Kalbar. Harga arwana golden red, bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah karena hukum pemintaan dan penawaran. Barangnya sedikit, yang minta banyak jadilah harga melambung tinggi.
Arwana
golden red yang hidup di sungai kapuas ini hanya bertelur sekitar 20 butir.
Telur itu akan dierami di dalam mulut induk betinanya sampai menetas dan
menjadi besar. Baru kemudian dikeluarkannya untuk hidup di alam bebas. Hingga
populasi ikan Arwana golden red memang tidak akan bisa banyak. Itulah sebabnya
ikan ini dilindungi oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam (PHPA) yang sekarang menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam (PKA), Departemen Kehutanan.perdagangan arwana golden red,
diatur dengan kuota. Untuk bisa menghapus kuota ini, para pengusaha pun
belomba-lomba mencoba menternakkan ikan arwana.
Selain
karena langka, popularitas ikan arwana golden red juga disebabkan oleh adanya
mitos, bahwa ikanini membawa keberuntungan. Ikan Arwana juga disebut sebagai
ikan siluk atau ikan naga. Sebab sisik dan misai ikan ini memang mirip dengan
sisik naga dalam mitologi Cina kuno. Dalam tradisi Cina, naga merah memiliki
tingkatan paling tinggi. Itulah sebabnya hanya arwana golden red yang harganya
paling mahal.
Warna
sisik merah keemasan ini, sebenarnya hanya muncul apabila menu sang ikan
merupakan hewan hidup dengan chitine yang mengandung pigmen merah. Misalnya
udang dan kelabang. Itulah menu asli arwana liar di perairan sungai kapuas.
Kalau menu ini diganti pakan buatan atau ikan-ikan kecil, maka warna merahnya
akan pudar. Maraknya peleharaan ikan arwana pada tahun 1980an, telah melahirkan
bisni kelabang. Harga kelabang besar berwarna kemerahan bisa mencapai Rp
250,-sd. Rp 500,-per ekor pada saat itu. Tetapi setelah para pengusaha berhasil
menternakkan arwana golden red hingga menjadi massal, maka harga ikan ini pun
jatuh. Bisnis kelabang juga ikut ambruk. Kolam-kolam pemijahan ikan arwana
banyak yang tutup. Trend tahun 1990an beralih dari arwana ke ikan koi.
Koi
adalah ikan mas biasa (Carrassius auratus). Namun melalui teknik penyilangan
oleh para peternak ikan di jepang, diperoleh ikan dengan variasi warna dari
putih bersih, merah, kuning dan hitam. Teknik penyilangan ikan koi, sudah
merupakan sebuah seni yang sangat rumit. Sama halnya dengan teknik pembentukan
dan perawatan bonsai yang juga merupakan tradisi Jepang. Beda dengan ikan
arwana yang hanya bertelur sekitar 20 butir,koi yang merupakan keturunan ikan
mas ini mampu bertelur sampai puluhan ribu butir. Namun dari puluhan ribu anak
ikan itu, yang akan menjadi koi hanya ratusan. Dari ratusan koi itu, yang akan
menjadi koi berkualitas baik hanya puluhan. Hingga pada akhirnya, koi kualitas
baik hanya akan berjumlah sama dengan populasi arwana.
Meskipun
berasal dari Jepang, pada tahun 1990an agroindustri ikan koi segera masukke
Indonesia. Breeding farmnya antara lain ada di Cipanas. Pelabuhan Ratu, Tretes
dan Blitar. Hingga koi pun bisa segera massal dan merakyat. “limbah” ikan koi
jumlahnya ratusan ribu sampai jutaan ekor itu, biasanya dijual sebagai ikan
hias kecil – kecil di halaman sekolah atau di kakilima. Ada juga yang
dibesarkan sebagai ikan konsumsi. Beda dengan arwana yang lebih banyak menuntut
pakan alami, maka koi mutlak memerlukan pakan buatan yang sudah diramu seimbang
hingga seluruh nutrisi yang diperlukan ikan terpenuhi. Terutama nutrisi untuk
mencemerlangkan warna sisiknya.
Kalau
arwana hanya dipelihara didalam akuarium secara tunggal (soliter), maka koi
harus dipelihara secara koloni dalam kolam dangkal ber-air sangat jernih.
Biasanya kolam koi dibuat sangat khusus dan diupayakan mirip dengan lubuk di
sungai – sungai pegunungan, lengkap dengan bebatuan, taman dan air terjun
buatannya. Oleh kerenanya agroindustri koi juga menyeret bisni outdoor
lanscape.
Tahun 1990an kebetulan industri
properti sedang booming. Perusahaan perancang dan pemborong taman mencapai
puncak kejayaannya. Peternak ikan koi juga kecipratan rejekinya. Harga koi
melambung sampai ratusan juta rupiah per ekornya. Semakin sempurna dan langka
koi tersebut, harganya akan semakin tinggi. Beda dengan arwana yang sering
dikait – kait dengan mitologi Cina dan isu mendatangkan “keberuntungan”,koi
adalah murni karya seni. Seperti halnya bonsai. Kebetulan umun ikan koi juga
bisa mencapai ratusan tahun seperti halnya arwana. Karenanya bisnis ikan koi
relatif lebih bersih dari unsur – unsur yang tidak rasional. Faktor modal
menjadi sangat penting. Sebab akan kembali menjadi ikan mas biasa.
Pertengahan tahun 1997, krisis
ekonomi mulai menampakkan gejalanya di Indonesia. Tahun 1998 terjadi huru –hara
besar yang berakhir dengan pergantian pemerintahan. Krisis multi dimensi sampai
sekarang. Industri properti ambruk. Bisni pertamanan iktu terpuruk. Masa
kejayaan ikan Koi juga ikut berakhir. Lalu pada awal tahun 2000an ini. Tampilah
secara sangat tiba – tiba ikan louhan.
Berbeda dengan ikan arwana dan ikan
koi yang datang dengan sikap sangat santun serta elegan, maka ikan louhan
datang ibarat pendekar Cina yang menerobos masuk dan mengamuk. Louhan, dalam
bahasa Cina memang berarti pendeka silat. Ikan ini diidentikkan sebagai seorang
pendekar karena adanya tonjolan pada dahinya (nongnong). Seperti halnya arwana,
louhan juga diisukan sebagai ikan pembawa keberuntungan. Arwana adalah naga
merah bersisik emas, yang bisa mendatangkan keberuntungan pada saat yang sangat stabil dan penuh kemapanan.
Louhan, sebagai pendekar Cina, dipercaya mampu memberikan perlindungan dan
“rasa aman” dalam kondisi bisnis, sosial dan politik yang sangat kacau dewasa
ini. Hingga kehadiran louhan memang sangat tepat sesuai dengan jamannya.
Namun benerkah louhan merupakan ikan
pendatang baru yang kehadirannya menggeser koi dan arwana? Ternyata tidak. Ikan
genus Cichlosma ini sebenarnya sudah dipelihara dan dibudidayakan di Indonesia
sejak tahun 1970an. Cichlosma sendiri termasuk dalam famili Cichlidae, hingga
masih satu famili dengan nila dan mujair yang merupakan ikan konsumsi. Harga
ikan hias Cichlosma yang terdiridari puluhan spesies penting itu, sudah mahal
sejak awal. Akhir tahun 1980an harga seekor Cichlasoma synspilum ukuran 20 cm.
Sudah mencapai Rp2.500.000,-
Memang harga ini masih sangat rendah
jika dibanding dengan arwana kualitas baik yang saat itu sudah mencapai puluhan
bahkan sampai ratusan juta rupiah per ekor. Saat itu, sebenarnya koi juga sudah
mulai dibududayakan diIndonesia. Harga ikan ko kualitas baik bisa mencapai
puluhan juta rupiah per ekor. Namun, tahun 1980an adalah masa kejayaan arwana.
Hingga keberadaan koi lebih-lebih louhan yang sebenarnya ikan Cichlosoma itu
masih belum diperhatikan oleh media massa. Tahun 1980 dan 1990an, ikan hias
maskoki, discus, manfis bahkan anak lele bangkok(Pangasius sutchi), jauh lebih
populer dari Cichlasoma. Namu ikan inilah yang kemudian diberi nama louhan dan
kemudian demikian populer di awal tahun 2000an ini.
Louhan adalah hasil persilangan
beberapa spesies Cichlasoma, hingga diperoleh nongnong yang sangat khas, dengan
sirip yang juga khas dan terutama ornamen sisik yang sangat indah. Ornamen ini
bisa membentuk huruf Cina maupun latin yang sepintas bisa dieja hingga menjadi
nama orang atau kata dengan makna tertentu. Diduga persilangan Cichlasoma ini
pertama kali dilakukan di Indonesia oleh para breeder Indonesia. Kiat dagang
para pemain ikan hias ini memang luar biasa. Mereka pun mengirim ikan hias ini
ke Malaysia sambil menciptakan nama Louhan.
Selanjutnya ikan hias ini masuk
kembali ke Indonesia dengan dangat gagah ibarat seorang pendekar silat. Modal
untuk mendongkrak popularitas louhan termasuk luarbiasa. Promosi dilakukan
melalui media massa sangat gencar. Si ikan louhan dapat mencapai harga ratusn
juta bahkan milyaran rupiah. Namun sesuatu yang cepat populer, akan cepat pula
merosot popularitasnya.
0 komentar:
Post a Comment